Menurut Pujiyono, di beberapa daerah, khususnya di kawasan timur Indonesia, jumlah jaksa sangat terbatas, bahkan dalam satu wilayah hanya terdapat enam orang jaksa fungsional.
Ia menilai, kondisi ini menyulitkan penanganan perkara korupsi, terutama yang melibatkan kepala daerah.
“Ada di daerah ya, khususnya di daerah timur ya, yang jaksa itu hanya enam orang. Coba bayangkan kalau harus mengusut kepala daerah,” kata Pujiyono dalam Podcast Gaspol! Kompas.comyang dikutip Jumat (6/6/2025).
Baca juga: Komjak: Prabowo Berharap Betul pada Kejagung
Pujiyono menjelaskan, dengan jumlah jaksa yang terbatas dan kasus korupsi yang justru banyak menyasar pemerintah daerah, dibutuhkan dukungan pengamanan agar proses penegakan hukum berjalan efektif.
“Yang lain itu tata usaha, padahal yang kasus korupsinya pemerintah daerah,” kata Guru Besar Fakultas Hukum (FH) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta itu.
Baca juga: Komjak: Perpres Perlindungan Jaksa Bentuk Visi Jangka Panjang Prabowo
Pujiyono pun menyoroti lemahnya efek gentar atau deterrent effect terhadap penegakan hukum di daerah tertentu.
Hal ini, menurutnya, menjadi salah satu alasan mengapa kepala daerah jarang tersentuh proses hukum, sementara pejabat di bawahnya seperti kepala dinas lebih sering dijerat.
“Makanya saya lihat juga di beberapa daerah, khususnya daerah-daerah timur, jarang sekali bisa kena kepala daerah. Paling pol kan kepala dinas-kepala dinas. Di daerah timur ya mungkin karena efek deterrent tidak begitu kuat itu,” ujarnya.
Diketahui, Presiden Prabowo Subianto telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 66 Tahun 2025 tentang Perlindungan Negara terhadap Jaksa dalam Melaksanakan Tugas dan Fungsi Kejaksaan Republik Indonesia.
Perpres ini membuka ruang bagi pelibatan TNI dalam mendukung perlindungan terhadap jaksa selama menjalankan tugas, terutama dalam konteks pengamanan di wilayah dengan tingkat risiko tinggi.